Rabu, 12 Maret 2014

Menjadi Murid SMP Negeri Pangururan.

Setelah Lulus SD Negeri Simarmata, maka kami didaftarkan oleh Kepala SD menjadi murid SMP negeri Pangururan,hal ini berlangsung sekitar bulan Juli 1959. Saat itu di Pangururan hanya ada satu SMP Negeri,
dan ada satu SMP Katholik,atau sering disebut SMP Budi Mulya. Karena Pangururan dari kampung kami, relatif jauh,kira-kira 15 km, saat itu belum punya sepeda yg baik, maka kami kebanyakan sewa kamar di Pangururan. Aku gabung dengan saudara-saudara ku satu Ompung dari pinompar Ompu Ajam Simarmata,
yaitu Udaku Muther Simarmata yg menjadi ayahandanya Sahat Simarmata, atau anak kelima laki dari Ompungku, lalu Abang Pardomuan Simarmata, cucu dari Ompu Jabontor Simarmata, dan abang Jones Simarmata, cucu dari Ompu Jones Simarmata. Kami berempat sewa satu kamar dari rumahnya Amangboru Situmorang, yg istrinya boru Parna, boru Sidauruk, boru dari Kepala Negeri Simanindo.Amangboru ini saat itu adalah Wakil Camat di Kecamatan Pangururan yg berkantor di Pangururan itu.
Permulaan menjadi murid SMP, tentu ada perasaan aneh, kenapa aneh,karena sewaktu SD di Simarmata, maka yg menjadi guru kelas satu misalnya Amang Simanihuruk,maka untuk semua pelajaran, beliaulah untuk semua pelajaran dikelas satu itu. Nah di SMP sudah lain, satu guru Aljabar, satu guru Sejarah dst,mula-mula kaget juga,tapi lama-lama bisa menyesuaikan diri. Walau kami resminya satu SMP Negeri Pangururan, namun mulai kami telah dipersiapkan pemisahan, akan ada dua SMP, yaitu SMP Negeri Satu Pangururan dan SMP Negeri Dua Pangururan. Caranya, Kelas Satu A,B,C,D,ada di SMP Lama yg dekat Pantai/Pasar,dan Kelas Satu E,F,G,H,yg bangunannya baru,ada di Hariaratolu.Tapi pemisahan resminya baru dilakukan setelah saya tinggalkan beberapa tahun kemudian. Kemudian ada beberapa pengalaman menarik juga,kalau di kampung kami, bahasa pengantar disekolah kadang campur aduk,kadang bahasa Batak, kadang Bahasa Indonesia, dan kamilah mungkin yg terakhir belajar Tulisan Batak. Lalu satu saat ada guru nanya, Siapa Nama, misalnya pertanyaan itu ditujukan pada saya lalu saya jawab, Berlin, maka kontan dapat paaaak, aduh sakitnya pipi kena tampar, jawaban yg benar adalah Berlin pak, nah jaman itu memang kita sangat menghormati guru, dan itulah kondisinya, lalu tugas-tugaspun tidak pernah terabaikan. Menghormati guru adalah hal yang wajib dan tulus kita lakukan, sekarang baru sadar betapa besar,jasa guru itu. Ok...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar